Ada yang baru di ulang tahun pernikahan kami yang ke 4 bulan. Hari minggu pagi, setelah jalan di perluasan, gw beli tespack. Kali ini yang 3 ribu rupiah saja. Bukan apa-apa. Waktu itu pernah beli yang 18 rebu, gagal. Garisnya cuman satu. It means that im not pregnant. Trus beli yang murahan lagi harganya 9 rebu, gagal maning lagi. Jadi pas beli testpack ini, kesannya iseng aja. "ah udh terlambat haid, cobain test ahh." Gitu deh pikiranku. Taunya malah stripnya dua.
Minggu ini bakalan ke dokter kandungan, yaaa..siapa tau ada yang salah atau gimana. Tapi emang berhubung murah, jadi kemaren test lagi pake yang 3 rebu..yuhuuu..stripnya masih dua. Gw juga udh mulai pusing, mual, dan lemes. Padahal biasanya nyetir kesana sini, gak gitu ngaruh. Pokoknya mah lah..seneng bangetttt..moga2 Allah SWT kasih yang terbaik, di 9 bulan ke depan ini. Amin..duh..moga2 dikasih kesehatan nih..
ps. kalo kata visi mah, di update pertanyaannya di yang sebelumnya, kalo waktu itu nanyanya, "kapan isi nyuy?" sekarang mah.."kapan lahiran?" "udh USG blum?" "cowo apa cewe, nyuy?" "mau dikasih nama apa?" hihihi...
Tuesday, April 19, 2005
Friday, April 01, 2005
Bu Dokter, Gimana Kabarnya?
Sejak gw menikah, pernah ada satu-dua orang yang menanyakan seperti judul tulisan ini. Memang gw menikah dengan hilman, dan kebetulan dia berprofesi seorang dokter. Mungkin udh banyak orang yang menulis hal ini, ketika seorang wanita menikah, dia akan menikah juga dengan profesi ataupun jabatan yang melekat didiri suaminya. Gw mencoba tidak berasumsi begitu.
Dulu waktu gw part-time di Hyatt Regency Bandung, gw pernah melakukan presentasi kartu keanggotaan di depan ibu-ibu dokter yang berkumpul di wilayah sukasenang. Awalnya gw seneng, karena toh mereka prospek yang cukup lumayan, gw berpikir kalo dari presentasi ini ada sekitar 5 orang yang gabung, bonus yang gw dapet minggu itu lumayan juga..hehhe..tapi ternyata mereka itu adalah ibu dari seorang suami yang berprofesi dokter. Jadi ketika ditawarkan, mereka bilang, ”nanti saya bilang dulu sama suami saya,” yang dokter itu pastinya..waduh..
Coba lihat disekeliling..ketika seorang suami jadi dirjen di suatu instansi, istrinya pasti disebut bu dirjen..atau kalo suami itu seorang komisaris besar (kombes), istrinya ikut disebut bu kombes. Bu bupati, bu Pangdam, bu Gubernur, bu Sekwilda, bu Kapolri, bu Kapolda, bu lurah, bu RW, bu RT, dan bu bu lainnya, disesuaikan dengan jabatan atau profesi yang diemban suaminya...wealah buuu..wis toh kalo bapaké jadi jenderal ojo ikut2 jadi jenderal! Hehe..
Balik lagi ke bu dokter tadi, kok kayaknya risih ya dengernya. Gw gak sekolah kedokteran, tapi hukum. Gw gak pernah nyuntik. Gak pernah pake jas lab. Dan gak pernah ngerjain hal-hal yang dilakukan dokter pada umumnya. Sama dengan si bu Kombes, atau bu Kapolri itu. Apa kalo bapaknya punya pangkat gitu, ibunya gak berat gitu ya nyandang nama itu. Apa gw bilang aja, kalo gw lebih suka disebut bu Hukum ketimbang bu Dokter haha..
Yang jelas, ketika menikah, sebetulnya perempuan itu seyogianya masih dipandang sebagai sosok yang independen. Bahkan dari literatur yang gw baca, nama kitapun seharusnya masih menyandang nama bapak dibelakangnya, bukan nama suami.
Tapi yang terjadi beda lagi. Dulu ada tulisan di Kompas. Ketika seorang istri yang baru datang dari luar negeri dihadapkan pada lingkungan sekitar dengan berbagai macam nama bapaknya. Hal yang dia gak dapetin di negaranya. Ada bu Ari, bu Anton, bu Mahmud, bu Pardjito, dan ibu-ibu lainnya. Di kompleks di mana tempat dia tinggal hampir gak ada yang tau kalo ternyata bu Ari itu namanya Teti Astrini. Bu Anton itu namanya Dini Aprilia. Bagus-bagus kan :) nah i really agree with that article kalau nama manusia itu baik perempuan maupun laki-laki, keduanya berasal dari suatu pemberian yang luar biasa dari sang orang tua. Setelah sang ibu mengeluarkan seorang bayi dengan bersusah payah, harapannya adalah anak yang dilahirkan tersebut akan menyandang nama dengan arti yang sangat luhur. Jadi, kalo perempuan itu pada akhirnya akan menyandang nama bu Pardjito, bu Mahmud..kan sayang..hehehe..tanpa mengurangi rasa hormat gw dengan nama-nama itu..
Meskipun sulit, apalagi stigma yang melekat di masyarakat sepertinya udh kayak gitu. Coba liat dulu ada iklan,"bu Joko, boleh minta termos es?" anak saya sakit panas?" lah..padahal gw yakin tuh di iklan itu bu Joko nama aslinya lebih bagus hihi..amanda, susan, tia, mungkin? siapa tau..:p
Gw pernah bahas ini dengan Hilman. Dia setuju aja tuh kalo Nurul gak akan dipanggil bu Hilman, atau bu dokter hehehe..dan akan dipanggil, bu Nurul yang bersuamikan Hilman, dan bu Nurul yang mempunyai suami dengan profesi dokter..haha..panjang ya bo!!
Dulu waktu gw part-time di Hyatt Regency Bandung, gw pernah melakukan presentasi kartu keanggotaan di depan ibu-ibu dokter yang berkumpul di wilayah sukasenang. Awalnya gw seneng, karena toh mereka prospek yang cukup lumayan, gw berpikir kalo dari presentasi ini ada sekitar 5 orang yang gabung, bonus yang gw dapet minggu itu lumayan juga..hehhe..tapi ternyata mereka itu adalah ibu dari seorang suami yang berprofesi dokter. Jadi ketika ditawarkan, mereka bilang, ”nanti saya bilang dulu sama suami saya,” yang dokter itu pastinya..waduh..
Coba lihat disekeliling..ketika seorang suami jadi dirjen di suatu instansi, istrinya pasti disebut bu dirjen..atau kalo suami itu seorang komisaris besar (kombes), istrinya ikut disebut bu kombes. Bu bupati, bu Pangdam, bu Gubernur, bu Sekwilda, bu Kapolri, bu Kapolda, bu lurah, bu RW, bu RT, dan bu bu lainnya, disesuaikan dengan jabatan atau profesi yang diemban suaminya...wealah buuu..wis toh kalo bapaké jadi jenderal ojo ikut2 jadi jenderal! Hehe..
Balik lagi ke bu dokter tadi, kok kayaknya risih ya dengernya. Gw gak sekolah kedokteran, tapi hukum. Gw gak pernah nyuntik. Gak pernah pake jas lab. Dan gak pernah ngerjain hal-hal yang dilakukan dokter pada umumnya. Sama dengan si bu Kombes, atau bu Kapolri itu. Apa kalo bapaknya punya pangkat gitu, ibunya gak berat gitu ya nyandang nama itu. Apa gw bilang aja, kalo gw lebih suka disebut bu Hukum ketimbang bu Dokter haha..
Yang jelas, ketika menikah, sebetulnya perempuan itu seyogianya masih dipandang sebagai sosok yang independen. Bahkan dari literatur yang gw baca, nama kitapun seharusnya masih menyandang nama bapak dibelakangnya, bukan nama suami.
Tapi yang terjadi beda lagi. Dulu ada tulisan di Kompas. Ketika seorang istri yang baru datang dari luar negeri dihadapkan pada lingkungan sekitar dengan berbagai macam nama bapaknya. Hal yang dia gak dapetin di negaranya. Ada bu Ari, bu Anton, bu Mahmud, bu Pardjito, dan ibu-ibu lainnya. Di kompleks di mana tempat dia tinggal hampir gak ada yang tau kalo ternyata bu Ari itu namanya Teti Astrini. Bu Anton itu namanya Dini Aprilia. Bagus-bagus kan :) nah i really agree with that article kalau nama manusia itu baik perempuan maupun laki-laki, keduanya berasal dari suatu pemberian yang luar biasa dari sang orang tua. Setelah sang ibu mengeluarkan seorang bayi dengan bersusah payah, harapannya adalah anak yang dilahirkan tersebut akan menyandang nama dengan arti yang sangat luhur. Jadi, kalo perempuan itu pada akhirnya akan menyandang nama bu Pardjito, bu Mahmud..kan sayang..hehehe..tanpa mengurangi rasa hormat gw dengan nama-nama itu..
Meskipun sulit, apalagi stigma yang melekat di masyarakat sepertinya udh kayak gitu. Coba liat dulu ada iklan,"bu Joko, boleh minta termos es?" anak saya sakit panas?" lah..padahal gw yakin tuh di iklan itu bu Joko nama aslinya lebih bagus hihi..amanda, susan, tia, mungkin? siapa tau..:p
Gw pernah bahas ini dengan Hilman. Dia setuju aja tuh kalo Nurul gak akan dipanggil bu Hilman, atau bu dokter hehehe..dan akan dipanggil, bu Nurul yang bersuamikan Hilman, dan bu Nurul yang mempunyai suami dengan profesi dokter..haha..panjang ya bo!!
Subscribe to:
Posts (Atom)